Derita Anak Sekolah
Saya sering menertawakan
diri sendiri. Bagaimana tidak, ketika saya berkumpul dengan kawan-kawan seringkali kami semua membahas isu-isu kemanusiaan baik yang ada di dunia ataupun yang ada di negara tercinta ini, pokoknya yang makro lah... dan pada saat itulah kami semua seakan berubah
menjadi sesok malaikat yang datang dari Tuhan membawa kunci-kunci jalan keluar.
Namun anehnya
ketika kami begitu cerdas dan kritis terhadap masalah-masalah atau isu-isu makro kehidupan kami tidak lantas membaik. Padahal kita adalah pemuda yang
serba tau dan serba bisa. Ternyata ketika kami teliti lagi, Kami mendapati
bahwa ternyata kami sering lupa pada permasalahan kami sendiri, kami sering
lupa bahwa disekitar kami banyak sekali ketidak adilan yang terjadi, bahkan telah
menimpa kami semua sejak kami dilahirkan.
Emm.. sebenarnya
bukan “lupa” sih, kalau lupa kan berarti kita sudah tau permasalahan kita,
terus kita jarang membahasnya akhirnya LUPA gitu kan?. Mungkin lebih tepatnya bisa
disebut “tidak sadar” atau malah “tidak tahu”, Entahlah….., mungkin karena kebodohan kami sendiri atau bisa juga karena mata kami yang tidak mau melihat kedalam diri sendiri.
Salah
satu contoh yang kita semua alami adalah sekolah. Mungkin sebagian dari
kita akan bertanya “loh kok sekolah….?”. Ketika aku menulis ini sebenarnya aku juga ragu. Emang iya ya…? Tapi coba kita bahas ini secara singkat dan
padat.
Sekolah adalah
lembaga, di dalam sekolah ada kegiatan pembelajaran, ada transfer of
knowledge. Sebenarnya tidak ada yang salah dengan sekolah, hanya saja saya sedikit tergelitik dengan sistem yang ada di sekolah. Contohnya di dalam
sekolah harus ada yang namanya penilaian. Biasanya penilaian ini berbentuk
angka. Bisa skala 1-10 atau 1-100. Seorang anak akan dianggap lebih pintar jika
mendapatkan nilai 100 dari pada anak yang hanya mendapatkan nilai 60. Kegiatan mengkuantifikasi
ini sebenarnya juga tidak salah, hanya saja menurut saya tidak tepat. Karena jika
hanya memfokuskan diri pada angka-angka ini justru yang muncul hanyalah “bagaimana
mendapatkan nilai 100”, bukan lagi tentang “bagaimana aku pandai, aku pintar, aku
suka menabung dan tidak sombong” hahaha, canda guys
Akibatnya apa…? Anak
yang tidak mampu mencapai angka itu lewat kognitifnya (selanjutnya disebut siswa
di garis bawah), akan berusaha memperolehnya dengan cara-cara lain yang
dianggap mampu mendongkrak nilainya ( seperti mencontek). Tentu saja ini
mengorbankan anak. Baik mengorbankan kejujurannya, tenaganya, kejiwaannya dsb. Bahkan
bukan hanya anak yang tidak mampu secara kognitif saja yang dirugikan. Anak yang
berada pada garis atas juga tidak luput dari hal ini. seringkali mereka yang
sebenarnya tidak mampu dipaksa untuk mampu. Salah satu cara “klasik”nya adalah dengan memaksa orang tua untuk mendaftarkan dirinya ke dalam program
bimbingan belajar yang tentu saja menguras kantong orang tua. Padahal untuk SPP sekolah aja udah ngos-ngosan. Terus Siapa yang
diuntungkan dan siapa yang dirugikan....?
Itu baru satu hal saja.
Yang ke dua, pendidikan kita sebenarnya belum imbang. Aspek-aspek lain di luar kognitif belum mendapatkan "harga" yang semestinya. Contohnya kejujuran, seringkali guru-guru kita atau bahkan orang tua kita menanyakan berapa nilai kita di pelajaran A,B,C tapi lupa menanyakan bagaimana mereka mengerjakannya. Boro-boro menghargai kejujuran, tau skor nilai anak kita dibawah standar aja udah kaya orang kesurupan mau menghukumnya.
Tapi apa itu salah? Ya salah lah... Masa enggak. Haha.
Saya sadar sih kenapa guru-guru kita dan orang tua kita bersikap seperti itu, ya karena itu tadi, konsep pendidikan kita belum menghargai adanya kejujuran. Mereka para orang tua taunya kalau mau jadi orang sukses, bisa diterima di perguruan tinggi, atau diterima kerja ya harus punya nilai yang bagus (selain punya orang dalam.. upss.. hehe), bukan kejujuran. Karena bagi sebagian orang kejujuran justru malah merugikan. Pernah dengar istilah "nek jujur ajur (kalau jujur hancur)"? Ya begitulah.
0 Response to "Derita Anak Sekolah"
Post a Comment